Ibu Bayi Itu Mulai Sakit

Waktu terus berjalan. Pertengahan Juni Febi tidak lagi pernah muncul ke luar. Sebelumnya wanita asal asli Cianjur itu memang jarang bergaul dengan warga disekitar. Biasanya dia hanya keluar apabila ingin mencari makanan, mandi atau untuk sekedar membeli susu sanset untuk bayinya. Semenjak dia sakit bungkusan makanan berisi nasi dan roti dibawakan oleh Wadidi, setiap pagi dan malamnya.

Warga sekitar mulai curiga. Tangisan bayi terdengar keras hingga jarak dua rumah yang ditempati perempuan tersebut. Romlah (30 tahun), warga yang tinggal bersebelahan itu mulai risih dengan tangisan bayi yang terdengar hampir setiap saat. “Mba anaknya menangis terus, mba tidak apa-apa,” tanya Romlah sambil mengetuk pintu rumah tersebut. Berulang kali dia melakukan hal yang sama, tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Dia tidak berani membuka lantaran takut bila didalam ada suaminya

Keesokan harinya Saleh pemilik rumah menengok keadaan Febi. Febi hanya tergolek lemas di atas kasur. Tubuhnya sudah semakin kurus hanya terbungkus balutan kulit.Tulang-tulangnya mulai menonjol kedepan. Usianya yang masih muda terlihat sangat tua seperti seorang nenek-nenek. Kondisi anaknya pun tidak jauh berbeda. Dia berada di samping ibunya.

Saleh lalu meminta kepada Wadidi selaku orang yang mengaku sebagai suaminya untuk membawa perempuan tersebut ke Rumah sakit. Demikian juga dengan kondisi bayi itu yang kian memprihatinkan. “Istri dan anak bapak sudah sakit parah, bawalah ke Puskesmas atau Rumah sakit segera,” tegas Saleh kepada Wadidi. “Mau pake duit dari mana mas,” jawab Wadidi dengan nada lemas.

Setelah sakit itu Febi tidak pernah lagi mandi. Untuk buang kotoran saja harus dilakukannya di kamar dengan menggunakan ember yang berwarna hitam. Suaminya yang membantu mencucikan pakaian dan celananya. Sementara Bayi itu hanya diberikan susu sasetan yang harganya Rp 1.000. Terkadang air dingin pun terpaksa diberikan kepada bayi malang tersebut. Tidak ada biskuit apalagi makanan bergizi yang tersedia.

Wadidi biasa datang pada pukul 10 pagi sebelum dia bekerja. Sementara bila malam, dia mengunjungi istrinya pada 23.00. Dia berkunjung selama kurang lebih satu jam. Setelah itu dia balik kembali kepada istrinya yang tua.

 

Hingga suatu waktu tepatnya tanggal 28 Juni 2008, Wanita itu akhirnya meninggal dunia. Tubuhnya terlentang diatas dengan mengenakan kaos tidur berwarna kuning dan celana hitam. Badannnya sangat kurus, tidak ada lagi daging yang tersisa pada tubuhnya. Anaknya yang berusia sekitar enam bulan berada tepat di atas tubuh ibunya itu. Kondisinya sangat mengenaskann tidak jauh berbeda dengan ibunya. Di kepalanya terdapat benjolan besar dan bercak-bercak hitam. Sekitar mulutnya berwarna putih seperti orang yang tekena sariawan. “Hanya sisa bungkusan roti dan susu sasetan yang tersisa,” ujar Saleh.

Saat dia meninggal tidak ada sanak keluarga yang mengunjungi. Hanya warga sekitar dan polisi setempat yang datang ke rumah kontrakan itu. Polisi dari Sektor Kelapa Gading memeriksa keadaan korban. Tidak ada tanda kekerasan pada tubuhnya. Ibu itu meninggal karena sakit dan kelapaan. Jasadnya kemudia di bawa ke Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo untuk pemeriksaaan lebih lanjut.

Sebelum Bayi Itu Ditemukan

Waktu sudah menunjukan pukul 21.30 malam. Semilir angin berhembus di tengah pemukiman padat daerah Sukapura Kelapa Gading Jakarta Utara. Rumah-rumah itu berjejer tidak jauh dari sebuah kali yang lebarnya mencapai lima meter. Seorang wanita muda terlihat membawa sebuah tas berwarna hitam yang dikaitkan di tangan sebelah kanannya. Dia berjalan dengan gontai disisi kali seperti orang yang sedang kelaparan. Tangan kanan dan kirinya mendekap ke dada menggendong bayinya yang baru berusia lima bulan.

Wanita berambut lurus sebahu itu sedang mencari suaminya. Dia bertanya ke sana kemari namun tidak jua berhasil menemukan. Hingga akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah kosong semi permanen dari kayu dan triplek berlantaikan dua. Wanita itu kemudian duduk di teras rumah.

Seorang lelaki lalu menghampirinya, “Sedang mencari siapa dik,” ujar Saleh pemilik rumah semi permanen dengan mengenakan sarung yang dikalungkan ditubuhnya. “Saya sedang mencari suami saya yang bernama Wadidi katanya dia tinggal di sini,” ujar Febi wanita yang berkulit kuning langsat itu. Sambil menyalakan rokoknya yang baru dia beli saleh kembali bertanya, “Wadidi lelaki berusia 40 an dengan tinggi sekitar 165 sentimeter itu,”

Entah mendapatkan informasi dari mana, Wadidi lelaki yang dicari wanita itu muncul secara tiba-tiba. Mereka kemudian saling berpelukan layaknya seorang suami istri yang sudah sekian lama tidak bertemu. “Benar kamu ini suaminya,” tanya Saleh. “Ya dia adalah istri saya,” aku Wadidi. Mereka kemudian berbincang-bincang hingga lewat tengah malam. Ironisnya bayi itu digeletakan begitu saja di pojok rumah tersebut tanpa alas yang memadai.

“Hai apakah kalian tidak punya rumah, sekarang sudah pukul 02 pagi, kasihan bayi itu kedinginan,” tanya saleh dengan nada sedikit keras. Mereka kemudian hanya terdiam membisu. Tidak ada satu patah kata pun yang terlontar dari mulut sepasang suami istri itu. “Baiklah kalau begitu kalian bisa tinggal dirumah semi permanen itu untuk sementara waktu. Mumpung belum ada mengontrak,” ujar Saleh. Atas ajakan bapak satu orang anak ini Wadidi dan Febi satu persatu menaiki tangga rumah berukuran 3 X 3 meter. Mereka menempati lantai ke dua. Saleh lalu menggelar kasur sederhana dan bantal berisikan kapuk untuk mereka istirahat.

Malam itu juga Wadidi kemudian pergi. Dia meninggalkan istrinya seorang diri. Setelah dicari tahu, ternyata lelaki itu telah mempunyai seorang istri. Tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah semi permanen itu. Hanya berbeda satu RT saja. Tidak ada yang mengetahui apakah benar pria paruh baya itu benar-benar menyunting Febi yang usianya terpaut sepuluh tahun itu.

Adrian Dapat Perhatian Pemerintah

Adrian bayi malang yang mengalami gizi buruk akhirnya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Tepatnya Senin (4/8) dia di rujuk ke Rumah Sakit Koja setelah tim puskesmas Kelapa Gading mengunjungi kediaman rumahnya.

Tim yang beranggotakan dari empat orang itu datang pada pukul 09.30 pagi. Mereka membawa mobil ambulan puskesmas yang dipersiapkan untuk mengantar Adrian ke Rumah Sakit. Setiba ditempat mereka langsung di antar oleh Ketua RT yang bernama Kasmari (35 tahun).

Salah seorang warga yang juga turut membantu merawat Adrian sempat gemas ketika petugas itu datang. “Bapak ibu dapat informasi dari mana, sudah satu bulan baru datang,” keluh Rusli (32 tahun) Bapak satu orang anak ini didepan rumahnya. Padahal, lanjutnya, kondisi anak ini sudah kritis. Tentunya dia kesal, pasalanya, baru ketika muncul di media pemerintah memperhatikan dengan serius

Petugas yang terdiri dari tiga orang wanita dan satu orang pria itu pun kemudian terdiam. Mereka lalu mengajak orang tua angkat Adrian yang bernama Saleh untuk membawa bayi itu kerumah sakit.

Salah seorang pegawai puskesmas, kemudian menanyakan riwayat bayi tersebut. “Usianya sudah berapa tahun dan bagaimana kondisi Ibunya,” tanya Suwarni. Tidak ada satupun warga yang saat itu sedang berada di rumah Adrian dapat memastikan usia bayi tersebut. Namun Saleh yang merupakan orang tua angkat korban memperkirakan umurnya antara lima sampai dengan enam bulan.

Sekitar pukul 10.45 Adrian di bawa ke Rumah Sakit Koja dengan ayah angkatnya. Tidak selang beberapa lama, lagi-lagi beberapa anggota dari salah satu partai datang ke Rumah Adrian untuk menawarkan bantuan. Mereka kemudian diminta untuk datang langsung ke Rumah Sakit.

Di Rumah Sakit Adrian masuk ke Instalasi Gawat Darurat. Dia langsung di infus dan diperiksa darahnya. Tidak hanya itu, bayi yang sebelumnya juga pernah di rawat di tempat yang sama selama 14 hari ini juga di Ronsen. “Biaya semua di tanggung oleh Rumah Sakit dengan menggunakan stempel kejadian luar biasa,” ujar Nevi, pegawai puskesmas yang turut menemani bayi malang itu. Di rumah sakit, tambahnya, Adrian di rawat di ruang kelas III.

teguh

Kisah Hidup Adrian ( Satu dari Lima Tulisan)


st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
<!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} p {mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0cm; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0cm; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

 Bayi Malang

Bayi Malang

Adrian bayi berusia setengah tahun ini sudah sebulan kondisinya kian mengenaskan. Tubuhnya hanya terbungkus oleh kulit, tulang-tulangnya menonjol ke depan dan di mulutnya timbul bercak-bercak putih seperti orang sariawan. Bila buang air pun selalu keluar darah beku.

Bayi malang itu ditinggal mati di dalam pelukan ibunya yang bernama Febi Nuryani (30 tahun) pada 28 Juni 2008 lalu. Ibu sang anak, meninggal dalam kondisi yang tidak jauh berbeda. Badannnya sangat kurus, tulang-tulangnya kelihatan seperti orang yang terkena busung lapar.

Melihat kondisi Adrian yang mengkhwatirkan Saleh (30 tahun) tetangga korban kemudian berinisiatif untuk merawatnya. Dengan biaya seadanya dia pun membawa bayi itu ke rumah Sakit Daerah Umum Koja. Adrian sempat dirawat selama 14 hari. Namun karena pihak rumah sakit meminta biaya perobatan yang cukup besar Rp 3,8 juta akhirnya Saleh pun memilih untuk membawa pulang Adrian.

Selama dirumah Bayi itu hanya diberikan perawatan alakadarnya. Maklum saleh tidak bekerja. Kehidupan seharinya bergantung kepada Istrinya yang bekerja sebagai buruh pabrik di Kawasan Berikat Nusantara

Beberapa botol susu dan makanan bayi dia siapkan setiap harinya. Untuk biaya susu, dia harus merogoh uang sebesar Rp 25 ribu buat kebutuhan selama dua hari. Sementara untuk kebutuhan satu kali berobat, bapak yang juga punya satu orang anak ini memerlukan biaya sebesar Rp 240 ribu.

Hampir setiap saat Adrian selalu menangis. Mungkin menahan sakit di tubuhnya. “Apabila tidak ada bantuan saya takut anak ini tidak dapat terselamatkan,” ujarnya. Dia sudah memberitahukan masalah ini ke Ketua RT dan RW. Tetapi Saleh tidak mengetahui apakah lurah mengetahui hal ini atau tidak

‘Kampanye’ di Atas Duka dan Penderitaan

 

Kesempatan Di Atas Duka dan Penderitaan

 

Bagi korban kebakaran Muara Baru Penjaringan Jakarta Utara kejadian ini merupakan musibah yang tidak pernah terlupakan. Bagaimana tidak dalam waktu kurang dari empat jam sedikitnya 600 rumah terbakar dan 950 keluarga kehilangan tempat tinggal. Banyak warga yang akhirnya harus mengungsi, anak-anak terpaksa tidak sekolah dan ribuan jiwa terancam terkena berbagai penyakit.

 

Di sisi lain di balik musibah tersebut ada pihak-pihak yang mengambil sejumlah kesempatan. Apakah peluang untuk mencari sesuatu yang berharga, berupa harta, nama, atau memang betul-betul mencari kesempatan beramal.

 

Sebut saja Agus (26 tahun) dia adalah seorang pemulung yang tidak pernah ketinggalan bila ada informasi kebakaran. Berita itu dia selalu dapatkan dari teman-temannya. Pertukaran informasinya tidak jauh berbeda dengan wartawan. Mungkin bila para pencari berita mendapatkannya melalui telephon seluler, agus hanya dari omongan satu ke yang lain.

 

Para pemulung itu memunguti sisa-sisa kebakaran seperti paku, kayu besi serta barang-barang berharga yang dapat dijual ataupun dipakai kembali. Untuk mengambil paku atau besi bernilai biasanya mereka menggunakan magnet yang di taruh di ujung kayu sepanjang satu meter. Pemulung terlihat cuek meski pemilik rumah berada di samping mereka.

 

Misal saja kebakaran yang menghanguskan ratusan rumah nelayan di Muara Angke Jakarta Utara pertengahan september 2008 lalu. Para pemulung itu bahkan tampak tidak gentar mengambil sisa-sisa kobaran api di tengah genangan air setinggi dada orang dewasa. Maklum saja lokasi berada di pesisir pantai. Pemulung itu tidak menyadari resiko terkena benda tajam yang menghantui mereka. “Bagaimana lagi mas ini sudah menjadi profesi kita,” tutur Supeno salah seorang pemulung yang sudah berpengalaman puluhan tahun itu.

 

Tidak kalah cepat dengan pemulung, partai politik pun melakukan tindakan yang sama. Meski tentu ada yang berbeda di antara mereka . Bila pemulung mencari, maka parpol memberi. Namun sayangnya rasa welas kasih parpol itu acap kali dinodai dengan kepentingan politik. Lihat saja puluhan bendera dari warna merah, kuning, hijau, biru hingga putih semunya mencoba saling mendahului. Mereka mengibarkan benderanya dari ukuran kecil hingga besar di lokasi kebakaran. Tidak di Kamal Muara, Muara Angke, Muara Baru semuanya sama. Bahkan acap kali parpol menyediakan bambu berukuran tinggi untuk memperlihatkan keberadaannya.

 

Dalam buku monumental ESQ karya Ari Ginanjar, dia menjelaskan bahwasanya Alloh mempunyai sifat Arrohman dan Arrohim. Yang artinya Maha pengasih dan Maha penyayang. Seorang hamba akan mendapatkan rasa sayang itu bila dia banyak memberi. Mereka meletakkan tangannya di atas, tidak di bawah. Tentunya dengan rasa ikhlas. Setiap bencana adalah kesempatan, peluang untuk beramal bukan untuk mencari ketenaran.

 

Teguh

Tak Ada Seragam, tak Ada Sekolah?

 

Sintia (6 tahun) mestinya sudah berangkat sekolah. Tapi, Selasa (14/10) siang, dia malah terlihat termangu di depan rumahnya yang gosong. Tak seperti setelan merah-jambu yang dikenakannya, suasana hati gadis kecil ini sedang kelabu. Dia kehilangan seragam putih merah, tas sekolah bergambar lucu, sepatu, dan pensil.

Siswi kelas I SD Negeri 12, Penjaringan, Jakarta Utara, ini ingin berangkat sekolah seperti hari-hari sebelumnya. Apalagi, sebentar lagi ujian tengah semester. Tapi, setelah api melahap rumahnya, semua perlengkapan sekolahnya ikut ludes. Tanpa perlengkapan itu, dia tak berani ke sekolah, bertemu guru dan teman-temannya.

Kakak Sintia, Badriah (7), yang duduk di bangku kelas dua SDN 12 Penjaringan, juga tak berangkat sekolah karena alasan yang sama. Dan, terpaksa menganggur di rumah. ”Bagaimana mau berangkat sekolah, pakaian dan buku pelajaran saja hangus terbakar,” keluh Leha (27 tahun), orang tua Sintia dan Badriah.

Leha yang kemarin mengungsi, akan melaporkan kesulitan anaknya itu kepada pihak sekolah. Sebab, suaminya yang berprofesi sebagai buruh bangunan, tak mampu seketika membelikan semua kebutuhan sekolah agar anak-anaknya bisa masuk sekolah.Keluhan yang sama dikemukakan Supiati (40), korban kebakaran di RT 07. Anaknya, Sri (10), yang saat ini duduk di bangku kelas empat SD Inpres Pluit, juga tak masuk sekolah. Seragam, sepatu, dan buku-buku Sri ludes dilalap api. ”Tidak ada yang tersisa.”

Rumah Sintia dan Sri yang terletak di pesisir Waduk Pluit Muara Baru, terbakar pada Senin (12/10) malam. Api penyebab kebakaran terakhir diduga dari hubungan arus pendek listrik itu, merambat dengan cepat pada pukul 23.00. Dalam empat jam, ratusan rumah di RT 16, 17, dan 19  semuanya di RW 17 habis dilalap api. Sebanyak 3.800 jiwa kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mengungsi.

Kebakaran di Muara Baru itu, merupakan yang ketiga di Penjaringan, dalam sebulan ini. Sebelumnya, pada pertengahan September, 136 rumah di kampung nelayan Blok Empang Muara Angke, juga terbakar. Pekan lalu (6/10), kebakaran juga menghanguskan puluhan gubuk liar di kolong tol Sedyatmo Grogol-Bandara Soekarno Hatta KM 19 RT 06 RW 16.

Sampai kemarin, belum ada uluran bantuan dari pemerintah kepada anak-anak yang kehilangan seragam dan perlengkapan sekolah. Alhasil, ratusan anak usia sekolah yang semula tinggal di ketiga RT tersebut, tak masuk sekolah.Di SDN 03 Penjaringan, misalnya, tak satu pun dari 32 anak –10 laki-laki dan 22 perempuan– yang rumahnya terbakar, yang masuk sekolah. Mereka terdiri atas lima murid di kelas satu, delapan murid di kelas dua, enam murid di kelas tiga, lima murid di kelas empat, empat murid di kelas lima, dan empat murid di kelas enam.

Sumiati, kepala SDN 03 Penjaringan, mengatakan sekolah sebenarnya memberikan kelonggaran, mengingat adanya musibah. Murid-murid tak diharuskan mengenakan seragam seperti biasa. ”Mereka dapat menggunakan baju biasa. Buku pelajaran nanti akan kami berikan,” katanya.Informasi tentang kelonggaran itu, kata Sumiati, telah disampaikan kepada orang tua murid. Tapi, ternyata murid-murid tetap tak masuk.

Di SDN 04 Penjaringan, sebanyak 11 murid –tujuh laki-laki dan empat perempuan– yang rumahnya terbakar, tak masuk sekolah.Di SDN 01 Penjaringan, dari 12 murid yang rumahnya terbakar, hanya dua yang masuk, yaitu Rahim dan Fadil. ”Mereka diantar kedua orang tuanya masuk ke sekolah meski hanya memakai kaus oblong dan sandal jepit,” ungkap seorang pengajar di sana, Resmince (50 tahun).

Kondisi lebih miris terlihat di SD Bintang Pancasila. Di sekolah yang letaknya 100 meter dari lokasi kebakaran itu, 40 siswa tidak masuk sekolah. Jumlahnya mencapai 17 persen dari total 230 siswa.Subur Saryuki, kepala SD Bintang Pancasila, sudah menyampaikan imbauan agar murid-murid tetap masuk sekolah. ”Saya sudah imbau supaya mereka tetap masuk karena sebentar lagi ujian tengah semester,” katanya.

Sejumlah murid, kata Subur, sempat masuk sekolah pada Senin (13/10) pagi. Tapi, karena datang tanpa seragam dan alat tulis, anak-anak itu kembali lagi ke rumah. ”Saya sudah data mereka yang menjadi korban kebakaran sejak kemarin (Senin –Red). Empat orang guru telah saya tugaskan untuk menangani masalah ini,” kata Subur.

Kepala Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Utara, Zaenal Abidin, berjanji membantu memberikan perlengkapan sekolah seperti seragam dan buku tulis untuk anak-anak korban kebakaran. Dia sudah meminta kepada seluruh kepala sekolah melakukan pendataan. Zaenal meminta warga bersabar dan tetap melanjutkan pendidikan meski hanya dengan pakaian seadanya. ”Teknis kerja di lapangan, kepala sekolah dapat berimprovisasi masing-masing,” katanya.Tak harus berhenti sekolah karena tak ada seragam, kan

teguh

Ratusan Rumah Terbakar di Muara Baru

JAKARTA – Kebakaran kembali terjadi di Penjaringan Jakarta Utara. Ratusan rumah warga yang dihuni 3.800 jiwa di pemukiman pesisir Waduk Pluit Muara Baru terbakar Senin (12/10) malam. Asal api diduga dari hubungan pendek arus listrik di salah satu rumah warga. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini namun kebakaran ketiga yang terjadi dalam satu bulan terakhir di wilayah itu membuat kerugian hingga mencapai ratusan juta Rupiah.

 

“Api merambat dengan cepat sejak pukul 23.00. Hanya beberapa jam saja ratusan rumah warga yang tersebar di tiga Rt, yakni RT 16, RT 17 dan RT 19, semuanya dalam RW 17 terbakar. Api baru dapat padam empat jam kemudian,” jelas Suwarno (54 tahun), salah seorang korban kebakaran di Rt 16 saat melihat rumahnya yang hangus kemarin (13/10)

 

Menurut lelaki yang seharinya bekerja sebagai sopir truk itu api berasal dari hubungan pendek arus listrik di rumah kontrakan salah seorang warga Rt 16. Penghuni rumah baru meminta tolong ketika api sudah membesar. Masyarakat sekitar yang sebagian telah tidur kemudian panik. Mereka lalu mencoba menyelamatkan barang berharganya masing-masing.

 

Angin laut yang bertiup kencang membuat api merembet cepat ke rumah warga yang lain. Umumnya rumah yang terbakar berada di pesisir waduk menuju Utara. ” Hembusan angin malam itu dari timur selatan ke arah pesisir pantai,” ujar Suwarno, bapak empat orang anak.

 

Warga sekitar pun berupaya memadamkan api dengan air seadanya. Air itu mereka ambil dari drum-drum penampungan yang setiap hari biasa digunakan untuk mencuci dan mandi. Namun apa daya besarnya api tidak seimbang dengan debit air yang tersedia. ” Petugas pemadam baru datang Setengah jam kemudian saat api sudah menghanguskan puluhan rumah,” kata Suwarno yang sudah bermukim di tempat itu selama 20 tahun. Beberapa rumah terpaksa di robohkan supaya api tidak menyambar.

 

Suwarno mengaku tidak sempat menyelamatkan barang berharganya. Pakaian, televisi. tempat tidur semuanya tidak ada yang tersisa. Hanya baju ditubuh yang berhasil dia bawa. Ironisnya pakaian seragam sekolah anak dan buku-buku pelajaran pun turut hangus. Akibatnya anaknya belum dapat pergi sekolaha hingga saat ini.

 

Hal serupa juga diungkapkan oleh Nur Amanah (26 tahun) warga RT 17 No 57. Api yang merambat cepat membuat dia tidak berhasil menyelamatkan barang berharganya. “Yang terpenting ketiga anak saya yang masih kecil berusia delapan bulan, tiga tahun, dan empat tahun selamat,” tuturnya. Untungya sekitar pukul 02.30 sempat terjadi hujan selama 30 menit. Sehingga api dapat mereda.

 

Meski demikian dia sangat menyayangkan kelambanan pemerintah dalam memberikan bantuan. Hingga menjelang siang belum ada bantuan makam atau minuman yang diberikan. Tenda pengungsian pun belum tersedia. Warga korban kebakaran akhirnya menumpang ke tetangga yang rumahnya tidak terbakar.

 

Lurah Penjaringan, Budi Santoso mengungkapkan jumlah rumah yang terbakar mencapai 600 bangunan. Ratusan tempat tinggal itu dihuni oleh sekitar 950 keluarga atau 3.800 jiwa. Mereka tersebar di tiga RT yakni RT 16, RT 17, RT 19 yang termasuk dalam lingkup RW 17. ” Dua pertiga korban berada di Rt 17,” ujarnya.

 

Penanganan bantuan telah dilakukan secara maksimal. Sejumlah tenda sudah didirikan baik itu dari Sudin Bintal Kesos Jakarta Utara maupun dari Palang Merah Indonesia. Dapur umum pun telah tersedia. Sebanyak 2000 nasi bungkus sudah tersalurkan. Di tambah lagi 10 dus air mineral dari kelurahan. “Belum bantuan yang di sampaikan secara langsung oleh orang atau lembaga tertentu,” katanya.

Mengenai keterlambatan hal ini lebih disebabkan karena sulitnya pendataan korban. Pasalnya sebagian warga yang rumahnya terbakar mengungsi masing-masing.

 

Sementara itu 15 unit kendaraan pemadam kebakaran diturunkan untuk mematikan kobaran api. Akses jalan yang sempit dan minimnya air mengakibtkan proses pemadaman berlangsung lama. “Daerah itu pemukiman padat,” ujar Rujito, petugas pemadam kebakaran. Kebakaran juga terjadi di kompleks Dinas Kebersihan semper barat Cilincing Senin (13/10) pagi. Sedikitnya Empat rumah terbakar. Api baru dapat padamkan satu jam kemudian. Sebanyak lima unit DPK diturunkan untuk memadamkan kobaran api.

 

Berdasarkan catatan Republika dalam satu bulan terakhir sudah terjadi tiga kali kebakaran besar di Kecamatan Penjaringan. Sebelumnya pada pertengahan September lalu 136 rumah di kampung nelayan Blok Empang Muara Angke, Penjaringan juga terbakar. Kebakaran tersebut membuat nelayan akhirnya tidak melaut. Selanjutnya pekan lalu (6/10) kebakaran juga menghanguskan Puluhan gubuk liar yang berdiri di Kolong tol Sedyatmo Grogol – Bandara Soekarno Hatta KM 19 Rt 06 Rw 16, Pejagalan, penjaringan. Akibatnya infrastrukur jalan tol sepanjang 100 meter mengalami kerusakan. Kerugian PT Jasa Marga diperkirakan mencapai Rp 500 juta.

teguh

Nasib Nelayan Di Ujung Tanduk

JAKARTA – Kondisi Nelayan di Pesisir Jakarta Utara kian memprihatinkan. Cemaran limbah dan Gelombang pasang yang terjadi membuat upaya untuk mendapatkan hasil ikan secara maksimal sulit untuk tercapai. Belum lagi dengan biaya produksi yang terus meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar. Membuat banyak nelayan yang kemudia memilih untuk berganti profesi.

Berdasarkan data Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta Utara jumlah nelayan yang berada di pesisir pantai tiap tahunnya mengalami penurunan. Pada 2003 jumlah nelayan penetap dan pendatang mencapai 26.601 orang. Kemudian berkurang hingga tinggal 23.920 pada 2005. Pada 2007 jumlah nelayan tinggal tersisa 19.234. Tahun jumlahnya dapat menurun drastis seiring dengan biaya produksi yang besar. Di sisi lain hasil tangkapnya jauh tidak menguntungkan.

”Limbah sudah ada di sepanjang pesisir. Tangkapan kian sulit diperoleh karena semuanya menjauh,” ujar Edi (30 tahun), nelayan di Muara Angke. Cemaran limbah itu, tambahnya, berasal dari Industri dan kapal-kapal besar yang berada di pelabuhan.

Bapak dua orang anak ini menuturkan yang membuat penghasilannya turun tidak hanya limbah namun juga faktor cuaca. Normalnya bila cuaca baik dan air laut bersih dia bisa mendapatkan Rp 3 juta sampai dengan Rp 4 juta sekali berlayar. Itupun masih harus dibagi dengan teman yang lainnya. Namun saat ini dia hanya memperoleh Rp 600 ribu. Padahal modalnya melautnya minimal Rp 1 juta.

Keadaan seperti ini membuat banyak di antara temannya yang beralih menjadi tukang becak ataupun pemulung aqua bekas. Tidak hanya itu, mereka juga harus terbelit dengan hutang. “Kita tidak punya penghasilan, terpaksa meminjam,” ujar Edi ketika ditemui Republika di atas kapal tradisionalnya . Pembayarannya, lanjutnya, baru lunas bila tangkapan mencukupi. Bila tidak, maka hutangnya pun semakin menumpuk.

Disisi lain Upaya untuk meningkatkan produksi ikan dengan program budi daya pun sulit terlaksana. Cemaran limbah yang sering menerjang tambak membuat petambak merugi hingga akhirnya harus gulung tikar.

Suryanto (49 tahun), pembudidaya ikan Bandeng di Marunda, mengungkapkan Kondisi air diwilayahnya sudah tercemar, sehingga membuat banyak ikan budidaya yang mati. Pada panen dua bulan lalu dari 10 ribu ikan yang dia lepas hanya dua kuintal yang berhasil dipanen. Kerugian yang dia dapat mencapai Rp 11 jutaan.

Padahal uang yang dijadikan modal merupakan hasil pinjaman. Di antaranya dari dana PPMK dan salah satu perusahaan telekomunikasi. “Saya selalu mengakali bagaimana uang tersebut dapat selalu berputar,” ujarnya. Untuk keuntungan bila hasil bagus hanya mencapai Rp 4 jutaan. Ini setiap satu masa panen, empat bulan satu kali.

Petambak yang sudah pengalaman belasan tahun itu mengungkapkan aliran cemaran limbah berwarna hitam, merah atau putih susu. Bau nya pun menyengat seperti mengandung bahan kimiawi. Dalam kondisi ini, suhu dasar air panas, ikan akhirnya muncul ke atas. Tidak lama setelah itu ikan kemudian mati.

Meski demikian tidak hanya limbah yang menjadi persoalan, namun tingginya air pasang turut berpengaruh. “Bila air pasang sudah masuk, kemudian tanggul tidak kuat menahan, akhirnya ikan akan terbawa ke laut,” kata Suryanto.

Untuk menyiasati hal ini dia telah meninggikan tanggul di sisi-sisi tambak sampai satu meter di atas permukaan air. Suryanto mengungkapkan biaya sesungguhnya untuk pengolahan tambak bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tergantung dari berapa jumlah ikan yang dilepas.

Pada bulan ini dia melepas 15 ribu anakan bandeng. Dia membelinya dengan seharga 250 per benih. Jika dikalikan totalnya sebesar Rp 3.750.000. Kemudian biaya obat sebesar Rp 900 ribu serta perbaikan ongkos tanggul Rp 5 jutaan.

Menurut Suryanto, paling mahal adalah ongkos pakan. Untuk 15 ribu ikan setidaknya membutuhkan 180 karung pakan. Sementara harga satu karungnya Rp 110 ribu. Bila dikalikan jumlahnya Rp 19 jutaan. “Saya akhirnya membiarkan bandeng untuk hidup secara alami di tambak,” ujarnya.

Jumlah petambak disini pun kian berkurang sejak tahun 2000 ini. Sebelumnya ada kurang lebih 20 an petambak. Namun karena sebagian lahan tambak digunakan untuk pembangunan rumah susun, ditambah lagi dengan sulitnya permodalan hanya tinggal sembilan yang bertahan.

Kepala Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan (P2K) Jakarta Utara, Riana Faiza, menjelaskan untuk mengembangkan budidaya ikan di pesisir Jakarta Utara pencemaran limbah harus segera dihentikan. Harus diakui cemaran limbah secara tidak langsung membuat banyak ikan mati. Bahkan pihaknya pun turut mengalami kerugian.

Jumlah kelompok budi daya ikan setiap tahunnya cenderung mengalami penurunan. Faktor sulitnya permodalan ditambah dengan kondisi air yang buruk menjadi salah satu penyebab. Berdasarkan data Sukudinas Peternakan Perikaan dan kelautan Kota Jakarta Utara pada 2003 sampai dengan 2006 jumlah pembudidaya ikan konsumsi sebanyak 10 kelompok. Kemudian pada 2007 hanya tinggal enam regu. Untuk pembudidaya ikan hias pada 2003 sampai dengan 2006 berjumlah 7 kelompok. Pada 2007 hanya tersisa 3 regu.

Teguh C61

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!